Menjadi Diri Sendiri

Menjadi Diri Sendiri

August 7, 2025
3 min read
index

Pernah nggak sih, kamu pas lagi scroll sosial media terus mikir, “GIla, hidup orang-orang kok keren banget, ya?” Lihat temen posting pencapaian karir, liburan ke tempat keren yang jauh, atau mungkin punya hubungan yang keliatannya sempurna banget. Tiba-tiba hidup kita yang lagi rebahan sambil mikirin deadline atau kerjaan mepet yang ditunda jadi biasa banget. Akhirnya, kita jadi sibuk dandanin profil media sosial untuk ngejar target biar bisa kayak orang, sibuk bikin story yang nunjukin kalo kita nggak berada di bawah, “sukses” mungkin kalo kata orang. Kita sibuk “menjadi seseorang”.

Setauku, di masa sekarang, ada dua “mesin” super kuat yang mendorong kita buat terus-terusan pake topeng: media sosial dan hustle culture.

Di media sosial, kita jadi sutradara buat hidup kita sendiri. Kita pilih foto terbaik, tulis caption paling bijak, dan cuma nunjukin momen-momen paling “intagrammable”. Hasilnya? Kita membandingkan “di balik layar” hidup kita yang berantakan dengan “panggung pertunjukan” hidup orang lain yang udah diedit “sempurna”. Ini resep jitu menurutku buat merasa insecure dan cemas. Kita jadi haus validasi dari likes dan komentar, seolah-olah jumlahnya nentuin harga diri kita.

Di sisi lain, ada hustle culture yang bilang kalau kita harus super produktif 24/7. Aku nggak bilang kalau nganggur, cuma planga-plongo nggak nyari kegiatan positif, itu hal yang bagus ya! Nggak, buka gitu. Maksudku, istirahat jadi keliatan kayak orang malas, dan kesibukan jadi lencana kehormatan. Nilai diri kita jadi diukur dari seberapa sibuk dan seberapa banyak pencapaian kita. Efek dari kombinasi keduanya? Bikin kita merasa harus selalu tampil sempurna, sukses, dan produktif, padahal di dalam hati mungkin kita lagi capek banget.

For your peace of mind, don’t let people know too much about you.

Terusan-terusan pura-pura itu melelahkan. Ketika ada jarak yang terlalu jauh antara “topeng” yang kita pake dan “wajah asli” kita, dampaknya bisa serius.

Banyak akhirnya yang merasa hampa atau kosong. Semua terasa datar. Ini terjadi karena kita terlalu sering menekan emosi asli kita (cemas, sedih, takut) dan memaksakan emosi palsu (senyum, percaya diri), tapi bukan maksudku mengatakan untuk tidak melatih gimana mengendalikan emosi guna bereaksi pada situasi tertentu.

Ujung-ujungnya? Burnout. Ini bukan cuma capek fisik, tapi capek mental dan emosional. Kita lelah bukan karena kerja keras, tapi karena lelah berpura-pura. Kalau topeng ini suatu saat pecah—misalnya mungkin karena kehilangan pekerjaan atau putus cinta, kita bisa kena krisis identitas, bingung “siapa aku sebenarnya tanpa semua ini?”.

Oke, terus gimana caranya keluar dari jebakan semacam ini?

Pertama, kenali dan terima diri sendiri adanya (aku juga masih berusaha untuk hal ini, hehe). Coba deh, luangkah waktu buat ngobrol sama diri sendiri. Apa sih yang beneran buat dirimu senang? Apa hal yang penting untukmu? Terima semua paket lengkap dirimu, baik kelebihan maupun kekurangan. Kalau kita sudah bisa menerima diri sendiri, pikirku kita nggak akan terlalu butuh pujian dari orang lain buat merasa berharga.

Berikutnya, pilih bahagiamu sendiri. Setauku ada dua jenis kebahagiaan: bahagia karena dapat pujian, likes, atau bonus, “hedonik” istilahnya. Kemudian bahagia jenis yang lain yaitu “eudaimonik”, kebahagiaan karena kita melakukan seuatu yang bermakna buat kita. Kebahagian yang pertama itu asik, tapi cepat hilang. Lain dengan yang kedua, mungkin nggak selalu instan, tapi lebih awet dan bikin puas. Daripada ngejar validasi, coba deh kejar aktivitas yang bikin lo merasa “hidup”, workout misalnya.

Zoro Me Time

Akhir kata, aku ingin bilang bahwa bukan berarti hidupku lebih baik darimu karena menulis ini. Tulisan ini pikirku sebagai bentuk keresahan atas fenomena sosial yang kulihat di sekelilingku yang mungkin bisa berdampak buruk. Gimana menurutmu? Tinggalkan pendapatmu pada kolom komentar!